Palembang, 21 April 2016
Kepada Yth
Ibu Kartini Tercinta
Di
Tempat
Dear Ibu
Kartini
Asalamualaikum
ibu, apa kabar , masih sibuk nulis surat, buku , atau saat ini lebih aktif di organisasi perempuan?, sekarang
ini sebenarnya saya pengen panggil bunda ke ibu biar terkesan
lebih akrab, kalau panggil mami emang ngak kepengen, takut kesannya jadi kayak
genit-genit gitu hehehe, tapi kata suami saya mending panggil ibu biar kesannya
lebih kayak ibu dan anak. Hadeeeh suami saya bisa-bisanya nimbrung istri lagi
buat surat, kalau boleh cerita dia baik loh bu , bantuin saya nulis surat lebih
konsentrasi, barusan dia bawain kopi, terus dikamar dia puterin lagu kesukaan
saya dari Sting, judulnya shape of my
heart. Musiknya itu buat saya suka banget terus liriknya dalem banget bu,kalau ngak
percaya coba ibu download yakin deh bakal suka.
Ngomong-ngomong
sudah lama saya ngak kirim surat ke ibu, terakhir pas SD, sekitar 29 tahun yang
lalu, saat ikut lomba menulis surat di SD Negeri 92 Kertapati, xixixi SD itu
sekarang sudah ngak ada lagi bu, karena digusur bangunannya oleh perusahaan
batubara sebagai perluasan area parkir mobil dan gudang batubara. eh iya nih
saya lupa, mau banyak cerita tapi belum mengenalkan diri, nama saya Dini,
sekarang sudah punya anak 3, alhamdulilah karena perjuangan Ibu Kartini untuk
emansipasi perempuan, Dini bisa
bersekolah hingga kejenjang yang tinggi, bisa bekerja sebagai jurnalis dan program director di salah satu radio di Palembang. Mengagumi ibu
sebagai sosok perempuan yang hebat memang bermanfaat sekali,menjadi diri
termotifasi bisa melakukan banyak hal dan tak tumbuh menjadi wanita yang
cengeng, lemah atau apalah, itu dikarenakan tulisan surat ibu kepada para sahabat di
Belanda sangat berpengaruh dalam
kehidupan saya, door duisternis toot lich atau habis gelap terbitlah terang, buku
dari kumpulan surat itu seperti oksigen bagi saya.
“
aku pikir tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik
hati, bukankah begitu Stella?” . ini adalah sebagian isi surat ibu yang di
tulis untuk sahabat di Belanda bernama Stella Zihandelaar, yang menurut saya
memiliki makna yang dalam, Surat ini ibu tulis tanggal 6 November 1899. Jujur saya berulang kali membaca surat ini ,
dan dibagian tulisan ini benar-benar membuat saya tertegun, kalimatnya luar
biasa indah. Selain ini ada lagi surat-surat ibu yang paling saya suka, saat
ibu mengutarakan kesedihan, di sini saya membaca bagaimana ibu memang merupakan
orang cerdas yang terkekang, saya melihat betapa besarnya keinginan ibu untuk
lebih pintar dan mengetahu banyak hal. Saya baca surat ibu yang dikirim ke Ny
Abendanon, tanggal 15 Agustus 1902,
benar-benar berisi emosi jiwa, bagaimana kesalnya ibu akan peraturan
Belanda saat itu yang melarang para ulama dan Kyai menerjemahkan Al Quran dalam
bahasa jawa , karena takut jiwa perlawanan rakyat Indonesia akan terbangkit. Di
dalam surat ibu ke ada Ny Abendanon betapa terlihatnya ibu ingin sekali
mendapat banyak pelajaran berharga dari berbagai bidang ilmu, bahkan ibu
menerangkan dalam surat itu alangkah tidak menyenangkan membaca Al Quran tetapi
tidak mengetahui makna dan artinya. Tetapi setelah ibu mendapatkan arti sedikit
surat dalam Al Quran dari Kyiai Soleh Darat, betapa ibu merasa bahagianya
seolah mendapatkan hujan ditengah gurun. Setelah mendapatkan pelajaran berharga
dari arti surat Al Quran, betapa makin cintanya ibu dengan Islam, sehingga ibu
menulis surat kepada sahabat lainna di belada kepada Ny Van Kol, tanggal 21
Juli 1902, yang isinya “ saya bertekat dan berupaya memperbaiki citra Islam,
yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dan
bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama yang disukai”. Subhanawloh
sekali, ibu sudah menyatakan hal ini disurat, sebelum Islam itu tercoreng
namanya dan dianggap kaum barat sebagai agama terorist pasca serangan 11 September
2012 gedung WTC Amerika.
Ibu
sekarang lagi baca surat saya sambil duduk di kursi bambu depan rumah ya?, yang
halaman dipenuhi anggrek subur, ujung pagar ditumbuhi bunga melur, terus
ngak kepanasan karena sejuk banyak pohon besar rindang, pastinya enak sekali ya bu disana. Ibu terima kasih,
sekarang ini perjuangan ibu benar-benar bisa dirasakan semua wanita di
Indonesia, tetapi yang jadi masalah adanya
perbedaan masanya ibu dengan kita saat ini, kalau dulu para wanita yang merasa bebas
karena perjuangan ibu, benar-benar melakukan perubahan dalam diri mereka
menjadi lebih bermanfaat bagi nusa bangsa, mereka belajar disekolah, menimba
ilmu setinggi mungkin dan langsung mengaplikasikan ke masyarakat tanpa
memikirkan uang lelah dan jasa, temen temen ibu menjadi wanita “pengabdi”
bangsa yang hebat. Sebaliknya saat ini ketika tidak ada lagi kesulitan untuk
menimba ilmu, justru banyak wanita yang sekolah tinggi itu hanya untuk sebuah
gelar dan mendapatkan ijazah sebagai syarat bekerja, akhirnya banyak yang
bersekolah tinggi tetapi terkesan bodoh.
Saya ngomong sempertin ini bukan sentimen atau apa, tapi kenyataanya
seperti ini, semakin tahun justru menurut saya wanita itu mengalami kemunduran,
emansipasi yang sesuguhnya ibu maksudkan itu sedikit terburamkam. Ambil contoh
dulu ada wanita hebat seperti Aisyah Amini saking hebatnya ia sampai djuluki
sebagai singa podium, dan menjadi wanita politikus hebat, dalam bidang seni,
ada Cristin Hakim, Uli Sigar. Mereka itu berkarya memang bukan semata-mata
untuk popularitas tapi ada perjuangan yang ingin mereka majukan di bidangnya.
Sementara sekarang artis-artis Indonesia yang konsen dengan itu sudah sangat
jarang sekali, bahkan bisa dikatakan selepas mereka nanti mungkin tidak akan
ada yang menggantikan. Artis kita
sekarang ini lebih moderen tetapi ketika berlakon tidak ada unsur edukasinya,
makanya sekarang ini saya sangat sedikit sekali meluangkan aktu untuk menonton
tv karena tontonan di tv sudah sangat jarang sekali yang mendidik, akhirnya
banyak generasi bangsa justru terbuai oleh ketidakkaruan dan kegalauan
sinetron.
Ibu
maaf juga sebelumnya, kalau saya mengatakan saat ini antara emansipasi dan
sesuap nasi itu berbeda tipis. Dulu
wanita bekerja untuk mengaktualisasikan dirinya agar lebih bisa berguna bagi
nusa dan bangsa, kalau sekarang kami bekerja mungkin mengesampingkan itu,
karena kami bekerja sekarang demi keluarga dan membantu suami mencari nafkah,
karena saat ini kalau wanita tidak bekerja susah bu, semua kebutuhan pokok
mahal, rasanya tidak tega melihat suami pontang-panting mencari nafkah
sendirian, makanya kami menggunakan sedikit kemampuan kami ini untuk membantu
demi tercukupinya sandang, pangan papan keluarga.
Ibu
apapun yang terjadi saat ini dengan para
wanita, saya tetap merasa kalau berkat
ibu kami menjadi wanita yang kuat, apapun tujuan kami bekerja,tetapi intinya
kami bisa begini karena perjuangan ibu, kerja keras ibu, maaf kalau kahir-akhir
ini ibu sedikit menangis melihat kondisi kami, tetapi yakinlah wanita Indonesia
itu hebat, akan tetap bermunculan juga Kartini-Kartini masa depan yang luar
biasa ,yang mengharumkan nama bangsa, doakan kami selalu ya bu Insyaalah kami
akan terus pegang teguh apa yang menjadi cita-cita luhur ibu.
Sebenarnya
masih banyak yang ingin saya ceritakan di surat ini, masih banyak uneg-uneg
yang menganjal di hati, tapi anak saya yang kecil nagis terus, belum lagi bapaknya
dari tadi gangguin ada aja yang di usilinnya. Ibu kapan-kapan kita meet up yuks, kita selfie kalau ibu punya waktu kita kumpul-kumpul juga sama FJKS, eh
lupa kasih tau ke ibu , kalau di Palembang kita ada perkumpulan para jurnalis
wanita loh bu, namanya Forum Jurnalalis Kartini Sumsel, tanggal 21 April nanti
akan ada acara, dateng ya bu.
Eh
iya hampir lupa, ibu ada salam dari anak saya Anisa yang sekarang kelas 4 SD,
katanya tanggal 21 April nanti dia mau pakek kebaya ala ibu di sekolahnya.
Heheheh saya udah nyiapin kebaya coklat kancing depan, semoga muat, maklum dia
gendut banget jadi kalo nyari kebaya ngak bisa yang anak-anak harus ukuran
orang dewasa.... ok ibu dilanjutya istirahatnya, kapan-kapan saya kirim surat
lagi ya. Semoga ibu selalu diberikan kesehatan biar bisa terus baca surat-surat
saya ya..salam ibu...
Hormat
Saya
Novita
Dini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar