Tidak banyak yang tahu kalau
Oktober adalah Bulan Bahasa Indonesia. Tanggal 28 Oktober 1928 perjuangan
pemuda Indonesia di masa itu untuk bisa mengikrarkan Sumpah pemuda bukanlah hal
yang mudah, butuh perjuangan bahkan pertumpahan darah, dan tanggal 28 Oktober
juga merupakan momen kelahiran bahasa
Indonesia. Sumpah Pemuda sendiri merupakan tonggak utama sejarah pergerakan
kemerdekaan Indonesia, Sumpah Pemuda juga adalah keputusan Kongres Pemuda Kedua
yang diadakan dari tanggal 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Dalam Sumpah
Pemuda ini melahirkan cita-cita akan adanya tanah air Indonesia, Bangsa
Indonesia dan Bahasa Indonesia dengan keputusan :
1. Kami poetra dan poetri
Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
2. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
2. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
3. Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean,
bahasa Indonesi
Istilah sumpah pemuda tidak muncul dalam
putusan kongres tersebut, tetapi diberikan setelahnya, dan keputusan
kongres tercantum dalam prasasti di
dinding Museum Sumpah Pemuda, dengan penulisan menggunakan ejaan Van Ophuvsen.
Sengaja saya tebalkan hitam untuk butir ketiga
dari sumpah ini, karena saat ini apakah kita masih mejunjung tinggi Bahasa Indonesia? Apakah bisa kita konsisten
dengan bahasa kita meski saat ini kita berada dimasa globalisasi yang
mengharuskan untuk bisa dan menguasai bahasa asing?
Ketika saya bertanya kepada 20
orang mahasiswa terkait pertanyaan di atas, teryata 17 orang menjawab saat ini banyak
orang Indonesia yang mengalami kemunduran untuk menjunjung Tinggi Bahasa
Indonesia, dan mengutamakan bahasa asing
agar lebih mudah mencari pekerjaan dan bertahan hidup di era globalisasi.
Sangat miris saya mendengar
jawaban mereka, tetapi itulah kondisi yang ada saat ini. Salah satu contohnya,
sekarang hampir semua masyarakat di
Palembang menyebut pembangunan salah satu jalur transportasi moderen penunjang
Asian Games 2018 dengan L-R-T atau Light Rail Transit, mereka tidak menyebutnya
dengan Kereta Api Ringan atau K-A-R yang mengunakan bahasa Indonesia. Alasan mereka
karena mereka tau dari pemberitaan media dan pejabat pemerintah menyebutnya
juga dengan bahasa asing. Jadi jangan
salahkan masyarakat bila lebih merasa akbrab dengan bahasa asing untuk
penyebutan, karena mereka merasa tidak diajarkan dan diperkenalkan untuk lebih
sering menggunakan bahasa Indonesia.
“ LRT, Underpass, Flyover,
itukan bahasa-bahasa yang diperkenalkan dan selalu di sebut sama pejabat kita
saat diwawancara media” kata Gilang salah satu mahasiswa swasta di Palembang, ketika
saya tanya berkaitan dengan pengunaan nama dan bahasa asing untuk fasilitas umum. Apa yang di katakan benar dan sangat benar,
pemimpin daerah atau pejabat daerah juga kerap bangga menggunakan istilah dan
bahasa asing untuk nama-nama fasilitas umum, mereka lebih merasa bangga
menyebut underpass dari pada terowongan bawah tanah, atau menyebut flyover
untuk jembatan layang. Entah apa maksud dari pejabat-pejabat daerah lebih
memilih menggunakan bahasa asing, apakah lebih merasa moderen atau berkelas. Padahal
sudah di atur dalam UU RI Nomor 24 Tahun 2009, tentang Bendera, Bahasa dan
Lambang Negara.
Sedikit bercerita jaman Presiden
Soeharto terbit keputusan Presiden yang mengharuskan menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar, dan juga para pejabat wajib menggunakan bahasa
Indonesia saat membuka pidato acara resmi baik di negara sendiri ataupun di
luar negeri. Tetapi yang terjadi sekarang berbeda, banyak sekali pejabat dan
pimpinan daerah menggunakan bahasa asing (Inggris) dari pada bahasa Indonesia apalagi
bahasa daerah. Presiden SBY yang paling sering kedapatan berpidato menggunakan
bahasa asing, kemudian di ikuti oleh pejabat-pejabat daerah lainnya, dan
ujungnya berdampak kepada nama gedung, nama jalan juga nama pemukiman.
Dengan keterbatasan saya, saya
selalu berfikir seperti ini, kalau korupsi ada KPK yang menanganinya, nah kalau
untuk menertibkan hal-hal yang berbau bahasa asing di Indonesia siapa yang
harus melakukannya, soalnya saya bertanya kepada Balai Bahasa, mereka juga
tidak memiliki wewenang penuh, kalaupun ada yang berkompeten untuk menegur dan
menindak, kok tidak ditindak. Malah saat ini tulisan-tulisan digedung besar
bagian atas bahasa asing bahasa Indonesia berada dibagian bawah, padahal kita
ada di Indonesia.
Saya hanya teringat percakapan
dengan kepala Balai Bahasa Sumsel, Amin, benar sekali apa yang ia katakan, sekarang
ini “gunakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, Pelajari Bahasa Asing”.
Nah sudah jelas kan bahwa bahasa asing itu di pelajari sebagai modal untuk bisa
lebih baik hidup dijaman sekarang ini, tetapi bukan berarti bahasa asing malah
menjadi bahasa utama. Sementara kita ketahui bahwa Besarnya suatu bangsa, karena masyaraktnya selalu mencintai dan
menghargai bahasa dan budaya sendiri.
Catatan :
Ini adalah kesedihan karena
begitu banyak anak-anak muda, para orang tua di mall saya dengar bercakap-cakap
menggunakan bahasa asing (inggris) padahal saya ada di kawasan Jln Basuki
Rahmat Palembang, bukan di Singapura, apalagi di Amerika. Begitu bangganya orang saat ini dengan bahasa
asing, rumah rumah mewahpun menggunakan bahasa asing, tidak ada lagi yang
menggunakan bahasa indonesia seperti “ pondok..kampung..” semuanya pakek bahasa ke asing-asingan...
Kita orang Indonesia, dari
bahasalah awal kita memperkenalkan betapa indah dan besar juga HEBATNYA negara
INDONESIA ini.....