Jumat, 21 Oktober 2016

Yang Benar Itu I Love Indonesia atau Aku Cinta Indonesia




Tidak banyak yang tahu kalau Oktober adalah Bulan Bahasa Indonesia. Tanggal 28 Oktober 1928 perjuangan pemuda Indonesia di masa itu untuk bisa mengikrarkan Sumpah pemuda bukanlah hal yang mudah, butuh perjuangan bahkan pertumpahan darah, dan tanggal 28 Oktober juga  merupakan momen kelahiran bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda sendiri merupakan tonggak utama sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia, Sumpah Pemuda juga adalah keputusan Kongres Pemuda Kedua yang diadakan dari tanggal 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Dalam Sumpah Pemuda ini melahirkan cita-cita akan adanya tanah air Indonesia, Bangsa Indonesia dan Bahasa Indonesia dengan keputusan :
1. Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
2. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
3. Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesi
 Istilah sumpah pemuda tidak muncul dalam putusan kongres tersebut, tetapi diberikan setelahnya, dan keputusan kongres  tercantum dalam prasasti di dinding Museum Sumpah Pemuda, dengan penulisan menggunakan ejaan Van Ophuvsen.
 Sengaja saya tebalkan hitam untuk butir ketiga dari sumpah ini, karena saat ini apakah kita masih mejunjung tinggi  Bahasa Indonesia? Apakah bisa kita konsisten dengan bahasa kita meski saat ini kita berada dimasa globalisasi yang mengharuskan untuk bisa dan menguasai bahasa asing?
Ketika saya bertanya kepada 20 orang mahasiswa terkait pertanyaan di atas,  teryata 17 orang menjawab saat ini banyak orang Indonesia yang mengalami kemunduran untuk menjunjung Tinggi Bahasa Indonesia, dan  mengutamakan bahasa asing agar lebih mudah mencari pekerjaan dan bertahan hidup di era globalisasi.
Sangat miris saya mendengar jawaban mereka, tetapi itulah kondisi yang ada saat ini. Salah satu contohnya, sekarang  hampir semua masyarakat di Palembang menyebut pembangunan salah satu jalur transportasi moderen penunjang Asian Games 2018 dengan L-R-T atau Light Rail Transit, mereka tidak menyebutnya dengan Kereta Api Ringan atau K-A-R yang mengunakan bahasa Indonesia. Alasan mereka karena mereka tau dari pemberitaan media dan pejabat pemerintah menyebutnya juga dengan bahasa asing.  Jadi jangan salahkan masyarakat bila lebih merasa akbrab dengan bahasa asing untuk penyebutan, karena mereka merasa tidak diajarkan dan diperkenalkan untuk lebih sering menggunakan bahasa Indonesia.
“ LRT, Underpass, Flyover, itukan bahasa-bahasa yang diperkenalkan dan selalu di sebut sama pejabat kita saat diwawancara media” kata Gilang salah satu mahasiswa swasta di Palembang, ketika saya tanya berkaitan dengan pengunaan nama dan bahasa  asing untuk fasilitas umum.  Apa yang di katakan benar dan sangat benar, pemimpin daerah atau pejabat daerah juga kerap bangga menggunakan istilah dan bahasa asing untuk nama-nama fasilitas umum, mereka lebih merasa bangga menyebut underpass dari pada terowongan bawah tanah, atau menyebut flyover untuk jembatan layang. Entah apa maksud dari pejabat-pejabat daerah lebih memilih menggunakan bahasa asing, apakah lebih merasa moderen atau berkelas. Padahal sudah di atur dalam UU RI Nomor 24 Tahun 2009, tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara.
Sedikit bercerita jaman Presiden Soeharto terbit keputusan Presiden yang mengharuskan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dan juga para pejabat wajib menggunakan bahasa Indonesia saat membuka pidato acara resmi baik di negara sendiri ataupun di luar negeri. Tetapi yang terjadi sekarang berbeda, banyak sekali pejabat dan pimpinan daerah menggunakan bahasa asing (Inggris) dari pada bahasa Indonesia apalagi bahasa daerah. Presiden SBY yang paling sering kedapatan berpidato menggunakan bahasa asing, kemudian di ikuti oleh pejabat-pejabat daerah lainnya, dan ujungnya berdampak kepada nama gedung, nama jalan juga nama pemukiman.
Dengan keterbatasan saya, saya selalu berfikir seperti ini, kalau korupsi ada KPK yang menanganinya, nah kalau untuk menertibkan hal-hal yang berbau bahasa asing di Indonesia siapa yang harus melakukannya, soalnya saya bertanya kepada Balai Bahasa, mereka juga tidak memiliki wewenang penuh, kalaupun ada yang berkompeten untuk menegur dan menindak, kok tidak ditindak. Malah saat ini tulisan-tulisan digedung besar bagian atas bahasa asing bahasa Indonesia berada dibagian bawah, padahal kita ada di Indonesia.
Saya hanya teringat percakapan dengan kepala Balai Bahasa Sumsel, Amin, benar sekali apa yang ia katakan, sekarang ini “gunakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, Pelajari Bahasa Asing”. Nah sudah jelas kan bahwa bahasa asing itu di pelajari sebagai modal untuk bisa lebih baik hidup dijaman sekarang ini, tetapi bukan berarti bahasa asing malah menjadi bahasa utama. Sementara kita ketahui bahwa Besarnya suatu bangsa, karena masyaraktnya selalu mencintai dan menghargai bahasa dan  budaya   sendiri.
Catatan :
Ini adalah kesedihan karena begitu banyak anak-anak muda, para orang tua di mall saya dengar bercakap-cakap menggunakan bahasa asing (inggris) padahal saya ada di kawasan Jln Basuki Rahmat Palembang, bukan di Singapura, apalagi di Amerika.  Begitu bangganya orang saat ini dengan bahasa asing, rumah rumah mewahpun menggunakan bahasa asing, tidak ada lagi yang menggunakan bahasa indonesia seperti “ pondok..kampung..” semuanya  pakek bahasa ke asing-asingan...
Kita orang Indonesia, dari bahasalah awal kita memperkenalkan betapa indah dan besar juga HEBATNYA negara INDONESIA ini.....